Ø Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya
mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui
apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu
termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun
yang tersembunyi bagiNya.
Ø Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya
mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam
Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan
ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ
إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)
Oleh karena itu
hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda
akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.
Ø Ketiga : Al- Masyiah (
kehendak ).
Artinya: bahwa
segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah
dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an
Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta
apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:
لِمَن شَاء
مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi
siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)
وَلَوْ شَاء
رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya”. (Al–An’am 112)
Oleh karena
itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan
mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang
terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu
yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
Ø Keempat : Al–Khalq (
penciptaan )
Artinya
mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di
bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari
kehidupan itupun diciptakan Allah.
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang
menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala
sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah
Ta’ala. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil
perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai,
matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan
Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat,
perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa
sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang
kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?
Jawabnya: Ya,
memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya
dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul
karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan
kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan
sebab dialah yang menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai
argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah
bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak
dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak
akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan
dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak
akan terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan manusia
terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna,
sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah
Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan
manusia adalah Allah Ta’ala.
Akan tetapi,
pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang
melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan
ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya
saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang
diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.
Keempat
tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal
ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku
perbuatan.
3.
Antara Qadha', Qadar dan Kehendak
Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa
keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan
bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap
pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat
yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak.
Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka
hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak
Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu
bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan
tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai
pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu
bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas
tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta
ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya
lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh
Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar
dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah,
atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan
dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha'
Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya
mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap
kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu
para teolog Asy'ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada
perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran
Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu
kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum
Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang
bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an dan
riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana
hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas
secara khusus masalah jabr dan tafwidh,
keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa
perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan
kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri,
maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha'
Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha'
Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu
sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan
perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya
kepada qadha' Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat
kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis
penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah
SWT.
4. Macam Pengaruh Sebab yang
Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang
berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama,
beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas
sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang
menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua,
beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan
pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi
sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari
sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa
mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah
pesawat.
Ketiga,
masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti
benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga
sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang
menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan
menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan
pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan
dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan
menulis.
Keempat,
pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab
itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di
atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan
wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya
(pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin)
terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah
dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak
bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena
sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan
kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar