Kamis, 31 Januari 2013

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :


Ø  Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
Ø  Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.
Ø  Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).
Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. (Al–An’am 112)
Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
Ø  Keempat : Al–Khalq ( penciptaan )
Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan Allah.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Ta’ala. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?
Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Ta’ala.
Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.

3.      Antara Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahamanDibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha' Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha' Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada qadha' Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah SWT.

4.      Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
 
Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat.
Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar